BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sebagai calon bidan yang
ahli dan professional dalam melayani klien, sudah menjadi suatu kewajiban kita
untuk mengetahui lebih dahulu apa saja wewenang yang boleh kita lakukan dan
wewenang yang seharusnya ditangani oleh seorang dokter SpOG sehingga kita harus
meninjau agar tindakan kita tidak menyalahi PERMENKES yang berlaku.
Akhir-akhir ini sering kita
menemukan dalam pemberitaan media massa adanya peningkatan dugaan kasus
malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan
kesalahan diagnosis bidan yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa
marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau
pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah
sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari
tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.
Lepas dari fenomena
tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik
medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang bidan/dokter. Perlu
diketahui dengan sangat, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum
tentang standar profesi kebidanan yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Masalah dugaan malpraktik
medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa.Namun, sampai kini,
belum ada yang tuntas penyelesaiannya.Putusan pengadilan apakah ada kelalaian
atau tidak atau tindakan tersebut merupakan risiko yang melekat pun belum
pernah diambil.
Masyarakat hanya melihat
dampak dan akibat yang timbul dari tindakan malpraktik tersebut. Semua
bergantung kepada si penafsir masing-masing (keluarga, media massa, pengacara),
dan tidak ada proses hukumnya yang tuntas. Karena itu sangat perlu bagi kita
terutama tenaga medis untuk mengetahui sejauh mana malpraktek ditinjau dari
segi etika dan hokum.
Sorotan
masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga
kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan
ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis yang
secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, karena
penyebab dugaan malpraktek belum tentu disebabkan oleh adanya
kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, khususnya dokter.
Bentuk
dan prosedur perlindungan terhadap kasus malpraktek yang ditinjau dari
Undang-Undang Perlindungan Konsunmen No.8 tahun 1999. peraturan tersebut
mengatur tentang pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah
melalui lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang membidangi
perlindungan konsumen, selain peran serta pemerintah, peran serta masyarakat
sangat perlu dibutuhkan dalam perlindungan konsumen dalam kasus malpraktek
serta penerapan hukum terhadap kasus malpraktek yang meliputi tanggung jawab
hukum dan sanksinya menurut Hukum Perdata, pidana dan administrasi.
Melihat fenomena di atas,
maka kami melalui makalah ini akan membahas tentang salah satu kasus malpraktik
di Indonesia.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa pengertian malpraktek dan
kelalaian ?
2. Apa jenis-jenis malpraktek hokum di
bidang pelayanan kesehatan ?
3. Apa unsur-unsur malpraktek ?
4. Bagaimana sangsi hukum malpraktek ?
5. Bagaimana cara pembuktian malpraktek
?
6. Bagaimana tanggung jawab hukum malpraktek ?
7. Bagaimana upaya pencegahan
malpraktek dan mengetahui cara menghadapi tuntutan hukum ?
8. Contoh ilustrasi kasus !
C.
TUJUAN
1. Mengetahui pengertian malpraktek dan
kelalaian.
2. Mengatahui jenis dan unsur malpraktek.
3. Mengetahui sanksi dan tanggung jawab
hukum malpraktek.
4. Mengetahui cara pembuktian
malpraktek.
5. Mengetahui upaya pencegahan
malpraktek dan cara menghadapi tuntutan hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MALPRAKTEK DAN KELALAIAN
1. Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang
sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal”
mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau
“tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.
Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut
dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek
profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Societyde
Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma
hukum dalam profesi kesehatan. Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga
bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan
adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut
pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical
malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.Hal
ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan
norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa
yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang
mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran
normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethicalmalpractice atau yuridical
malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical
malpractice merupakan yuridicalmalpractice akan tetapi semua bentuk yuridical
malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice,
1893).
2. Pengertian kelalaian
Istilah
kelalaian Medis
adalah sebagai terjemahan dari 'Negligence"
(Belanda :Nalatigheid)
dalam arti umum bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan. Seseorang
dikatakan lalai apabila ia bertindak acuh dan tak peduli. Juga tidak
memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya didalam tata
pergaulan hidup masyarakat. Selama akibat dari kelalaian itu tidak sampai
membawa kerugian atau cedera dan menyangkut hal yang sepele, maka kelalaian itu
tidak berakibat hukum. Prinsip ini berdasarkan "De minimis not curat
lex, The law does not concern itself with trifles". Yaitu hukum
tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.
Apabila kelalaian yang dilakukan
sudah mencapai tingkat tidak memperdulikan keselamatan orang lain, maka
kelalaian yang dilakukan akan berubah menjadi tindakan kriminal. Jika akibat
dari kelalaian yang dilakukan menyebabkan celaka, cedera, bahkan sampai
merenggut nyawa maka kelalaian tersebut termasuk tindak pidana dan pelanggaran
hukum.
B.
JENIS-JENIS MALPRAKTEK
Berpijak pada hakekat malpraktek
adalan praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan standar profesi yang telah
ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat dipiah dengan
mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala sebutan
malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek.Secara
garis besar malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik
(medical malpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal
malpractice) dan malpraktek yuridik (yuridical malpractice).Sedangkan
malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik perdata (civil
malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek
administrasi Negara (administrative malpractice).
1.
Malpraktik Medik (medical malpractice)
John.D.Blum merumuskan: Medical
malpractice is a form of professional negligence in whice miserable injury
occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or omission by
defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian
professional yang menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat
sebagai akibat langsung dari perbuatan ataupun pembiaran oleh dokter/terguguat).
Sedangkan rumusan yang berlaku di
dunia kedokteran adalah Professional misconduct or lack of ordinary skill in
the performance of professional act, a practitioner is liable for demage or
injuries caused by malpractice. (Malpraktek adalah perbuatan yang tidak benar
dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan pekerjaan.
Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang
disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah merumuskan malpraktik
medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan
dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang
yang terluka menurut lingkungan yang sama.
2.
Malpraktik Etik (ethical malpractice)
Yang dimaksud dengan malpraktek etik
adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran.
Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI merupakan
seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa
malpraktek etik ini merupakan dampak negative dari kemajuan teknologi
kedokteran.Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk
memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk
mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebbih tepat dan lebih
akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek
samping yang tidak diinginkan.
Efek
samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara
lain :
ü Kontak atau komunikasi antara dokter
dengan pasien semakin berkurang
ü Etika kedokteran terkontaminasi
dengan kepentingan bisnis.
ü Harga pelayanan medis semakin
tinggi, dsb.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran
yang merupakan malpraktek etik ini antara lain :
ü Dibidang diagnostic
Pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan
bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti.Namun karena laboratorium
memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan
pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah
tersebut.
ü Dibidang terapi
Berbagai
perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan
yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang
juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada
pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya
tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktek
etik.
3. Malpraktek Yuridik
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :
1) Malpraktek Perdata (Civil
Malpractice)
Terjadi
apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian
(wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan
lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad)
sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat
berupa
Ø Tidak melakukan apa yang menurut
kesepakatan wajib dilakukan.
Ø Melakukan apa yang menurut
kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melaksanakannya.
Ø Melakukan apa yang menurut
kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan
hasilnya.
Ø Melakukan apa yang menurut
kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau
tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti :
·
Harus
ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)
·
Perbuatan
tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
·
Ada
kerugian
·
Ada
hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum
dengan kerugian yang diderita.
·
Adanya
kesalahan (schuld)
Sedangkan
untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter,
maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :
·
Adanya
suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
·
Dokter
telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
·
Penggugat
(pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
·
Secara
faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun
adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter.Dalam
hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta
telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang
tertinggal dalam perut sang pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa
tersebut timbul komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi
kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya
kelalaian pada dirinya.
2) Malpraktek Pidana (Criminal
Malpractice)
Terjadi
apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga
kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan upaya
penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
a. Malpraktek pidana karena kesengajaan
(intensional)
Misalnya
pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan
rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal
diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat
keterangan dokter yang tidak benar.
b. Malpraktek pidana karena kecerobohan
(recklessness)
Misalnya
melakukan tindakan yang tidak legeartis atau tidak sesuai dengan standar
profesi serta melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c. Malpraktek pidana karena kealpaan
(negligence)
Misalnya
terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang
kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam
rongga tubuh pasien.
3) Malpraktek Administratif
(Administrative Malpractice)
Terjadi
apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum
Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa
lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan
menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
C.
UNSUR-UNSUR
MALPRAKTEK
Dokter
atau petugas kesehatan dikatakan melakukan malpraktek jika :
1.
Kurang
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan yang sudahberlaku umum
dikalangan profesi kesehatan.
2.
Melakukan pelayanan kesehatan dibawah standar profesi.
3.
Melakukan kelalaian berat atau memberikan pelayanan dengan
ketidak
hati-hatian.
4.
Melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan hokum.
Jika
dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka
ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut penggantian
kerugian karena kelalaian, maka penggugat harus dapat membuktikan adanya 4
unsur berikut :
1.
Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien.
2.
Dokter telah melanggar standar pelayanan medic yang lazim
digunakan.
3.
Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti
ruginya.
4.
Secara factual kerugian disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Kerugian
ini kadang kala tidak memerlukan pembuktian dari pasien dengan diberlakukannya
doktrin les ipsa liquitur, yang berarti faktanya telah berbicara.Misalnya
terdapatnya kain kassa yang tertinggal dirongga perut pasien, sehingga
menimbulkan komplikasi pasca bedah.Dalam hal ini maka dokterlah yang harus
membuktikan tidak adanya kelalaian dalam dirinya. Namun tetap saja ada elemen
yuridis yang harus dipenuhi untuk menyatakan telah terjadi malpraktek yaitu :
1) Adanya tindakan dalam arti berbuat
atau tidak berbuat. Tidak berbuat disini
adalah
mengabaikan pasien dengan alasn tertentu seperti tidak ada biaya atau tidak ada
penjaminannya.
2) Tindakan berupa tindakan medis,
diagnosis, terapeutik dan manajemen kesehatan.
3) Dilakukan terhadap pasien.
4) Dilakukan secara melanggar hokum,
kepatuhan, kesusilaan atau prinsip profesi lainnya.
5) Dilakukan dengan sengaja atau
ketidak hati-hatian (lalai, ceroboh).
6) Mengakibatkan, salah tndak, ras
sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian lainnya.
D.
SANKSI
HUKUM MALPRAKTEK
Undang-undang tentang malpraktek
Dalam etika profesi yang disahkan
oleh setiap lembaga mempunyai fungsi pengawasan yang kuat dan nyata terhadap
pelaku dan benar-benar harus dipatuhi sebagai seorang dokter. Jejak rekam medik
yang akurat merupakan keinginan setiap pasien untuk mengetahui apa penyakit
yang dideritanya. Ketidakpastian jejak rekam medik tersebut tentu saja menambah
kontroversi kasus dugaan malpraktik, karena dapat dikategorikan sebagai
euthanasia (tindakan medik untuk mengakhiri hidup orang).Euthanasia di Indonesia
merupakan tindakan yang melanggar hukum karena identik dengan upaya pembunuhan
dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi
pidana. Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang
mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359,
misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya
keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (1) ‘Barang
siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama
satu tahun’. (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau
denda paling tinggi tiga ratus rupiah. Pemberatan sanksi pidana juga dapat
diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal
361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan
dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka
pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter
tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya
keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak
menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan. Berdasarkan
Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan aturan kode etik profesi
praktik dokter. Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan
perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus)
telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang
menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada
korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh
kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
Kepastian Hukum Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang
tersebut di atas dapat dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi
ketakutan. Tetapi, juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke
pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup
kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik.
Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan
sama di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah
(presumptions of innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana
dengan baik dengan tanpa memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas
(sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah melakukan
malpraktik, apabila
a) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban
tersebut, dokter telah
melanggar standar pelayanan medik
yang lazim dipakai.
b) Pelanggaran terhadap standar
pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik
Kedokteran Indonesia (. (3) Melanggar UU No36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Seorang dokter yang melakukan
penyimpangan saat melakukan pengobatan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan
tindakannya. Sanksi hukum terbagi 3 yaitu sanksi perdata, sanksi pidana dan
sanksi administratif.1
1.
Sanki Perdata
Tenaga kesehatan yang merugikan
pasien dapat dikenakan sanksi berdasarkan pasal 1365, 1367, 1370 atau pasal
1371 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Gugatan yang ditujukan secara pribadi
apabila dokter melakukan kesalahan ditempat praktek pribadi atau disebuah rumah
sakit dimana statusnya adalah dokter tamu.
2.
Sanksi pidana
Tindakan dokter yang menorehkan
benda tajam, menusukkan jarum atau membius pasien tanpa persetujuannya, dapat
disamakan dengan melakukan penganiayan, yang dapat dijerat dengan Pasal 351
KUHP.
3.
Sanksi administratif
Sanksi administratif diatur dalam
Pasal 13 PERMENKES tentang persetujuan tindakan medik yang isinya
adalah: Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa persetujuan
pasien atau keluarganya, dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan
izin praktek.
E.
CARA
PEMBUKTIAN MALPRAKTEK
Apabila tenaga tenaga kesehatan
didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang
mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan
ada dan tidaknya kesalahan.
Dalam hal tenaga kesehatan didakwa
telah melakukan criminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga
kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a) Apakah perbuatan (positif act atau
negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b) Apakah perbuatan tersebut dilakukan
dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya
kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan
kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka
yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang
dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang
praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya
civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1.
Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya
kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan
dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan
teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan
dari kewajiban)
Jika seorang tenaga perawatan
melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka
tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab
langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat
dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal)
dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau
tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil
(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan.
Sebagai adagium dalam ilmu
pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus
diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara
pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang
diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat
diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a) Fakta tidak mungkin ada/terjadi
apabila tenaga perawatan tidak lalai
b) Fakta itu terjadi memang berada
dalam tanggung jawab tenaga perawatan
c) Fakta itu terjadi tanpa ada
kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak adacontributory negligence. gugatan
pasien .
F. TANGGUNG JAWAB HUKUM
Untuk
memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang
dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa
kesalahan).Azas ini merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku
dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya pasal 48 tidak memberlakukan
ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa.
Oleh karena itu untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan
sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur,
sebagai berikut :
- Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak harus normal.
- Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
- Tidak adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.
Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.
Mengenai kesengajaan, KUHP tidak
menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memorie van Toelichting
(MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang dengan
dikehendaki dan diketahui.
Dalam tindakannya, seorang dokter
terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada tubuh
pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang melakukan pembedahan Sectio
Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu pengetahuan (doktrin)
mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena arti dan
penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Didalam semua jenis
pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter operator selalu menyakiti
penderita dengan menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak karena perintah
Undang-Undang “si pembuat luka” dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan.
Oleh karena itu, didalam setiap pembedahan, dokter operator haruslah
berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak menimbulkan masalah
kelak di kemudian hari.Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang
terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa
menutup.Bila ini terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan
yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi
karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki melakukan
perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan jahat dari
petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan
keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa
kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang
larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek
dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga
kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya
berbeda gradasi saja.
Penanganan Malpraktek di Indonesia
Sistem hukum di Indonesia yang salah
satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya hukum pidana, hukum
perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum “malpraktek”.
Sebagai profesi, sudah saatnya para
dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam
menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika
kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah
yang mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang hukum baru dalam ilmu hukum
yang sampai saat ini belum diatur secara khusus.Padahal hukum pidana atau hukum
perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak
seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran.Bidang
hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran,
bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula
diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan oleh World Health
Organization.Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan,
sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum
kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World Congress ke VI pada
bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di Indonesia. Atas
prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982
dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari
kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini,
Medical Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri.Setiap ada
persoalan yang menyangkut medical law penanganannya masih mengacu kepada Hukum
Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia,
malpraktek merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek
yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal
dari alam pemikiran barat.Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus
guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek medik
yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil
oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian
dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan
system kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa
menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui
2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar
peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum
tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan
profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam
pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan
masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai
anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan
yang berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang
berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi
masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum.
Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI)
tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga
kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum,
tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika
Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter
Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan
pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU
No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau
tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan
Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah
ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau
kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini
bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari
unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang
kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan
MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif,
karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada
sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya
yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap
melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.
G. Upaya Pencegahan Dan Menghadapi Tuntutan
Malpraktek
1.
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan
masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya mal praktek diharapkan
para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi
garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning
verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar
selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang
dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan,
konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara
manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan
pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2.
Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang
dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan
hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau
keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan
Apabila tuduhan kepada bidan
merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :
a) Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk
menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak
menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa
yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of
treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap
batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b) Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan
mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal
tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan
pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan
bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada
baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis
pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil
malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang
dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan
perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan
perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar
gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang
dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil
malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat
berbicara sendiri (res ipsaloquitur), apalagi untuk membuktikan adanya
tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya
hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya
kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang
awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kebidanan.
H. KAJIAN KASUS MALPARAKTEK
Radar Malang, Kamis 10 Agustus 2006
SUNGSANG, LAHIR KEPALA PUTUS
Dunia kedokteran di Malang Raya gempar. Seorang bidan bernama Linda Handayani, warga Jl. Pattimura Gg I Kota Batu, melakukan malpraktik saat menangani proses persalinan. Akibatnya, pasien bernama Nunuk Rahayu (39) tersebut terpaksa melahirkan anak ketiganya dengan hasil mengerikan.Bayi sungsang itu lahir dengan leher putus.Badan bayi keluar duluan sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim.
Kejadian ini membuat suami Nunuk, Wiji Muhaimin (40) kalut bukan kepalang. Bayi yang diidam-idamkan selama 9 bulan 10 hari itu ternyata lahir dengan cara yang sangat memprihatinkan. “Saya sedih sekali, tak tega melihat anak saya,” ujar Muhaimin.
Terkait kronologi kejadian ini, pria berkumis tebal tersebut menjelaskan, istrinya Selasa sore lalu mengalami kontraksi.Melihat istrinya ada tanda-tanda melahirkan, Muhaimin membawa istrinya ke bidan Linda Handayani, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya.Begitu memasuki waktu shalat Magrib, dia pulang untuk shalat.
Muhaimin mengaku tidak punya firasat apa-apa sebelum peristiwa tersebut terjadi. Selama ini dia yakin kalau istrinya akan melahirkan normal. “Nggak ada firasat apa-apa.Ya normal-normal saja,” katanya.
Kemarin, istrinya masih belum bisa diwawancarai.Pasalnya, Nunuk masih terbaring lemah di BKIA.Ia tampaknya masih tidur dengan pulas. Kemungkinan, pulasnya tidur Nunuk tersebut akibat pengaruh obat bius malam harinya.
Menurut Muhaimin, dia sangat sedih ketika melihat bayinya tanpa kepala dengan ceceran darah di leher. Dia merasa antara percaya dan tidak melihat kondisi itu.Namun, dia sedikit lega bisa melihat anaknya ketika badan dan kepalanya disatukan.Menurut dia, bayi itu sangat mungil dan cantik, kulitnya masih merah, dan rambutnya ikal.“Saya ciumi dan usap wajahnya, sambil menangis,” kata Muhaimin dengan mata berkaca-kaca.
Meski kejadian ini dirasakan sangat berat, Muhaimin akhirnya bisa juga menerima dan menganggap ini takdir Tuhan.Tetapi untuk kasus hukumnya, dia tetap menyerahkan ke yang berwenang.Dia berharap kasus ini bisa ditindaklanjuti dengan seadil-adilnya.
Dari penuturan beberapa warga sekitar, sebenarnya bidan Handayani adalah sosok bidan yang berpengalaman dan senior.Dia sudah praktik puluhan tahun.Dengan demikian, masyarakat juga merasa kaget mendengar kabar mengerikan itu datang dari bidan Handayani.
Kabar ini juga menyentak kalangan DPRD kota Batu. Menurut ketua Fraksi Gabungan Sugeng Minto Basuki, bidan Handayani memang sangat terkenal di Batu.Kata dia, umurnya sudah 60 tahun lebih. Namun, atas kasus ini dia meminta dinas kesehatan melakukan recovery lagi terhadap para bidan yang ada di Batu. Dengan demikian kasus mengerikan semacam ini tidak akan terulang lagi. “Saya juga meminta polisi segera mengusut kasus ini.Kalau perlu izin praktiknya dicabut,” katanya. (www.opensubscriber.com)
Analisa kasus
Faktor yang sangat berpengaruh saat kita mau melahirkan adalah faktor kepercayaan dan kenyamanan pada siapa dan dimana kita akan melahirkan. Artinya pada seorang bidanpun kalau memang kondisi ibu dan bayinya tidak bermasalah dan sang ibu merasa percaya dan nyaman insya allah akan baik-baik saja. Hanya yang perlu diperhatikan adalah seorang bidan mempunyai keterbatasan dalam melakukan tindakan, walaupun dia mampu secara ilmu pengetahuan dan pengalamannya.
Ada beberapa tindakan yang hanya boleh dilakukan oleh seorang dokter saat menolong persalinan. Jika sang bidan tetap melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan, itu sudah termasuk malpraktek kecuali bidan yang praktek ditempat yang terpencil dan tidak ada dokter atau tempat rujukan sangatlah jauh dari tempat praktek bidan dan persalinan sudah harus segera dilakukan (permenkes pasal14) . Tapi jika memungkinkan maka segera lakukan tindakan rujukan karena kadang bidan apalagi yang sudah senior merasa yakin dan bisa melakukan tindakan yang dilarang dan terjadi sesuatu hal, maka itu akan jadi masalah besar. Misalnya seperti kasus bayi sungsang yang kepala putus,penolongnya adalah bidan senior yang berusia 60th dan terkenal dimasyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Malpraktek merupakan istilah yang
sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal”
mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau
“tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.
Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan
untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu
profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek
profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Societyde
Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berdasarkan kasus yang telah
disebutkan dantelah kami pelajari, dapat disimpulkan bahwa masih kurang jelas
apakah pada kasus tersebut ada unsur sengaja atau tidak sengaja.Masih banyak
hal yang harus dibuktikan dalam kasus ini. Jadi bidan tersebut hendaknya
menjelaskan pada proses keadilan tentang hal sebenarnya.
Selanjutnya apabila keluarga
menuduh bidan tersebut telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien
meninggal dunia, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan
tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang
hati-hati ataupun kurang praduga.
Ada banyak
penyebab mengapa persoalan malpraktik medik mencuat akhir-akhir ini
dimasyarakat diantaranya pergeseran hubungan antara tenaga medis dan pasien
yang tadinya bersifat paternalistic tidak seimbangdan berdasarkan kepercayaan
(trust, fiduciary relationship) bergantidengan pandangan masyarakat yang makin
kritis serta kesadaranhukum yang makin tinggi. Selain itu jumlah dokter di
Indonesia
dianggap belum
seimbang dengan jumlah pasien sehingga seorang tenaga medis menangani banyak
pasien (berpraktek di berbagai tempat) yang berakibat diagnosa menjadi tidak
teliti.
Apresiasi
masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga dalam melakukan hubungan
dengan dokter, pasien sangat berharap agar dokter dapat memaksimalkan pelayanan
medisnya untuk harapan hidup dan kesembuhan penyakitnya.
Selama ini
masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan malpraktik medik yang dilaporkan
media massa atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat
jalur hukum.
Dari sudut
penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya
karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal
malpraktik medik ini.
Masih ada
masyarakat (pasien) yang belum memahami hak-haknya untuk dapat meloprkan dugaan
malpraktik yang terjadi kepadanya baik kepada penegak hukum atau melalui MKDKI
(Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Oleh karenanya lembaga
MKDKI sebagai suatu peradilan profesi dapat ditingkatkan peranannya sehingga
mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga yang otonom, independent
dan memperhatikan juga nasib korban. Bahkan berkaitan dengan MKDKI ini SEMA RI
tahun 1982 menyarankan agar untuk kasus dugaan malpraktik medik sebaiknya
diselesaikan dulu lewat peradilan profesi ini.
Dari sudut
hukum acara (pembuktian) terkadang penegak hukum kesulitan mencari keterangan
ahli yang masih diliputi esprit de corps. Mungkin sudah saatnya diperlukan juga
saksi yang memahami ilmu hukum sekaligus ilmu kesehatan.
Bahaya
malpraktek memang luar biasa. Tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan atau
gangguan fatal organ tubuh, tetapi juga menyebabkan kematian. Masalah yang
ditimbulkan pun bisa sampai pada masalah nama baik, baik pribadi bahkan negara,
seperti yang dipaparkan waktu penjelasan fenomena malpraktek pada era
globalisasi tadi. Benar-benar kompleks sekali permasalahan yang timbul akibat
malpraktek ini. Sehingga benar bahwa malpraktek dikatakan sebagai sebuah
malapetaka bagi dunia kesehatan di Indonesia.
B.
SARAN
Seorang Bidan atau Dokter atau
hendaknya dapat menunjukkan profesionalisme sebagai seorang tenaga kesehatan.
Dalam arti harus bisa menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang kronologis
peristiwa yang terjadi, agar tidak menimbulkan prasangka publik yang akhirnya
akan menimbulkan fitnah dan isu-isu yang tidak benar. Dan pada akhirnya juga
akan merugikan nama baik sebagai seorang bidan serta hilangnya kepercayaan
masyarakat.
Sesuai dengan kode etik profesi dan
sumpah jabatan sebagai seorang tenaga kesehatan harus dapat
mempertanggungjawabkan kejadian yang telah terjadi.Karena bidan adalah sebagai
pelaku utama dalam kasus ini, bidan harus bisa menjelaskan dengan sebenar-
benarnya sebab terjadinya peristiwa.
DAFTAR PUSTAKA
- Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
- Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
- Guwandi, J., 1993, Malpraktek Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
- Guwandi, J., 2007, Hukum Medik (Medical Law), Balai Penerbit FKUI, Jakarta
- Prof. Amri Amir SpF (K), SH. 2009. Etika Kedokteran dalam Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC
- Sudarma, 2008. Sosiologi Untuk Kesehana, jakarta: Salemba medika
- Darmadipura MS, Sukanto H, Farida N, Asnar E, Santoso
MWA.
- http://zona-prasko.blogspot.com/2011/03/kelalaian-medis.html
- http://futuredentistig.wordpress.com/2012/11/13/malpraktekazas-etik-kedokteran-sop-informed-consent-dan-sanksi-hukum
- "klik di bawah ini, untuk PPT
- "http://www.4shared.com/file/w37uXeazce/GANGGUAN_PSIKOLOGI_PADA_MASA_K.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar